tirto.id - Kesepian adalah musuh yang sangat menyiksa bagi laki-laki Belanda yang disebut kaum penjajah itu. Mereka umumnya datang ke Indonesia tanpa pasangan, baik istri maupun kekasih. Perjalanan dari negeri Belanda ke Indonesia saja bisa memakan waktu satu tahun di zaman VC berjaya.
Tak cuma orang Belanda, tetapi orang Eropa secara keseluruhan. Mereka melakukan pekerjaan yang terkait dengan kolonialisasi negara Eropa di Indonesia. Pegawai kompeni, pelaut, dan serdadu termasuk profesi yang terbanyak.
Mereka kerap harus tinggal lebih dari satu tahun di Hindia. Maka, setidaknya baru tiga tahun kemudian mereka bisa sampai Belanda lagi. Di rentang waktu itulah orang Belanda mencari cara agar kesepian terobati dan hasrat biologis terpenuhi.
Salah satu caranya adalah pergi tempat pelacuran. Leonard Blusse, dalam bukunya Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC(1988), menyebut para serdadu sering sekali pergi ke rumah-rumah bordil dan menghabiskan waktu dengan perempuan-perempuan penghuninya. Perempuan-perempuan penghuni rumah bordil itu awalnya adalah perempuan-perempuan Asia yang tak jelas asal-usul keluarganya. Tak jarang, mereka adalah budak.
Persetubuhan antara laki-laki penghuni tempat pelacuran itu menghasilkan anak-anak campuran yang disebut indo. Belakangan, anak-anak tersebut juga hidup di Indonesia. Di antara anak-anak (laki-laki) itu, ada yang jadi serdadu atau pegawai rendahan. Malangnya, ada anak-anak perempuan yang juga menjadi pelacur.
Hendrik Naimeijer, dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012), mencatat beberapa pelacur berdarah campuran Portugis pada abad XVII. Mereka adalah Adriana Augustijn, Anna de Rommer, Dominga Metayeel, dan Lysbeth Jansz. Ayah-ayah mereka Portugis, sementara ibu mereka adalah perempuan-perempuan pribumi.
Tak cuma orang Belanda, tetapi orang Eropa secara keseluruhan. Mereka melakukan pekerjaan yang terkait dengan kolonialisasi negara Eropa di Indonesia. Pegawai kompeni, pelaut, dan serdadu termasuk profesi yang terbanyak.
Mereka kerap harus tinggal lebih dari satu tahun di Hindia. Maka, setidaknya baru tiga tahun kemudian mereka bisa sampai Belanda lagi. Di rentang waktu itulah orang Belanda mencari cara agar kesepian terobati dan hasrat biologis terpenuhi.
Salah satu caranya adalah pergi tempat pelacuran. Leonard Blusse, dalam bukunya Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC(1988), menyebut para serdadu sering sekali pergi ke rumah-rumah bordil dan menghabiskan waktu dengan perempuan-perempuan penghuninya. Perempuan-perempuan penghuni rumah bordil itu awalnya adalah perempuan-perempuan Asia yang tak jelas asal-usul keluarganya. Tak jarang, mereka adalah budak.
Persetubuhan antara laki-laki penghuni tempat pelacuran itu menghasilkan anak-anak campuran yang disebut indo. Belakangan, anak-anak tersebut juga hidup di Indonesia. Di antara anak-anak (laki-laki) itu, ada yang jadi serdadu atau pegawai rendahan. Malangnya, ada anak-anak perempuan yang juga menjadi pelacur.
Hendrik Naimeijer, dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012), mencatat beberapa pelacur berdarah campuran Portugis pada abad XVII. Mereka adalah Adriana Augustijn, Anna de Rommer, Dominga Metayeel, dan Lysbeth Jansz. Ayah-ayah mereka Portugis, sementara ibu mereka adalah perempuan-perempuan pribumi.
Rumah bordil jadi pelarian karena kebanyakan dari orang-orang Belanda di tanah koloni itu tak mampu kawin dengan perempuan Belanda. Ongkos mendatangkan perempuan dari Belanda sangat mahal. Laki-laki Belanda yang sukses punya istri Belanda adalah mereka yang sudah kaya dengan jabatan pegawai senior. Dan mereka sudah berumur.
Menunggu kaya adalah masalah waktu, sementara libido tetaplah libido. Mereka yang tak mau berurusan dengan penghuni rumah bordil, biasanya akan mengambil perempuan pribumi untuk dijadikan nyai. Nyai, seperti seorang istri di masa lalu, urusannya tak jauh dari sumur, kasur, dan dapur.
Nyai difungsikan sebagai pengurus rumah tangga. Seperti pembantu, mereka bersih-bersih rumah, memasak, dan mencuci pakaian. Tentu saja ditambah tugas tambahan: menemani tuan Eropa mereka di atas kasur ketika malam tiba.
Nyai tidak dianggap terhormat. Dalam hal ini, nyai dianggap tak lebih dari seorang gundik dengan tugas rumah tangga. Menurut Tinneke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007), istilah nyai biasa dipakai untuk menyebut gundik di Jawa, Sunda, dan Bali sejak zaman VOC. Kata ini berasal dari Bali, yang dikenal sebagai pemasok budak.
Soal pergundikan di tangsi, dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda(2010), Reggie Baay mencatat kisah beberapa nyai yang hidup dengan laki-laki Belanda. Sebagian laki-laki Belanda itu bekerja sebagai serdadu. Mereka hidup bersama nyai mereka mereka hanya ketika bertugas di Indonesia. Setelah si laki-laki Belanda itu selesai urusan dinasnya di Indonesia, nyai-nyai itu ditinggalkan. Baay juga mencatat ada nyai yang ditinggalkan itu belakangan dapat saudara laki-laki yang juga bekerja sebagai serdadu.
Menunggu kaya adalah masalah waktu, sementara libido tetaplah libido. Mereka yang tak mau berurusan dengan penghuni rumah bordil, biasanya akan mengambil perempuan pribumi untuk dijadikan nyai. Nyai, seperti seorang istri di masa lalu, urusannya tak jauh dari sumur, kasur, dan dapur.
Nyai difungsikan sebagai pengurus rumah tangga. Seperti pembantu, mereka bersih-bersih rumah, memasak, dan mencuci pakaian. Tentu saja ditambah tugas tambahan: menemani tuan Eropa mereka di atas kasur ketika malam tiba.
Nyai tidak dianggap terhormat. Dalam hal ini, nyai dianggap tak lebih dari seorang gundik dengan tugas rumah tangga. Menurut Tinneke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007), istilah nyai biasa dipakai untuk menyebut gundik di Jawa, Sunda, dan Bali sejak zaman VOC. Kata ini berasal dari Bali, yang dikenal sebagai pemasok budak.
Soal pergundikan di tangsi, dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda(2010), Reggie Baay mencatat kisah beberapa nyai yang hidup dengan laki-laki Belanda. Sebagian laki-laki Belanda itu bekerja sebagai serdadu. Mereka hidup bersama nyai mereka mereka hanya ketika bertugas di Indonesia. Setelah si laki-laki Belanda itu selesai urusan dinasnya di Indonesia, nyai-nyai itu ditinggalkan. Baay juga mencatat ada nyai yang ditinggalkan itu belakangan dapat saudara laki-laki yang juga bekerja sebagai serdadu.
Selain perempuan yang hidup, sebagian laki-laki menjadikan guling sebagai pengantar fantasi melawan sepi. Guling dibayangkan sebagai sesosok perempuan ketika tidur. Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan, dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 (2000), menulis “guling adalah peralatan tidur yang khas Belanda dan seringkali disebut Dutch's Wife alias Istri Belanda."
Meski guling dicap sebagai istri Belanda, menurut Supartono Widyosiswoyo, di negara barat guling tak dikenal di masa kolonial. “Adanya guling dari unsur tempat tidur, yang di Barat tidak dikenal. Setelah Belanda membawa budaya guling ke negerinya, banyak yang menirunya, sehingga guling disebut Hollandsche vrouw, artinya istri Belanda,” tulis Supartono Widyosiswoyo, dalam Sejarah Seni Rupa Indonesia (2002)
“Bagi pemuda dan pria Belanda yang tinggal di Nusantara, meninggalkan kekasih atau istrinya jauh di negeri Belanda sana, mereka mengobati rasa rindunya dengan cepat berangkat tidur, mengkhayal, seraya memeluk guling erat-erat,” tulis Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan.
Jika uang mereka banyak, mereka akan memperistri perempuan Belanda. Jika uang belum seberapa banyak dan belum bisa mendapat istri Belanda, mereka akan ambil nyai. Jika ada sedikit uang, sementara libido makin tak tertahan dan enggan mengambil nyai, biasanya rumah bordil bisa selesaikan masalah mereka.
Tentu saja, teman tidur paling murah dan mudah dibanding semua pilihan itu adalah istri orang Belanda alias guling.
Meski guling dicap sebagai istri Belanda, menurut Supartono Widyosiswoyo, di negara barat guling tak dikenal di masa kolonial. “Adanya guling dari unsur tempat tidur, yang di Barat tidak dikenal. Setelah Belanda membawa budaya guling ke negerinya, banyak yang menirunya, sehingga guling disebut Hollandsche vrouw, artinya istri Belanda,” tulis Supartono Widyosiswoyo, dalam Sejarah Seni Rupa Indonesia (2002)
“Bagi pemuda dan pria Belanda yang tinggal di Nusantara, meninggalkan kekasih atau istrinya jauh di negeri Belanda sana, mereka mengobati rasa rindunya dengan cepat berangkat tidur, mengkhayal, seraya memeluk guling erat-erat,” tulis Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan.
Jika uang mereka banyak, mereka akan memperistri perempuan Belanda. Jika uang belum seberapa banyak dan belum bisa mendapat istri Belanda, mereka akan ambil nyai. Jika ada sedikit uang, sementara libido makin tak tertahan dan enggan mengambil nyai, biasanya rumah bordil bisa selesaikan masalah mereka.
Tentu saja, teman tidur paling murah dan mudah dibanding semua pilihan itu adalah istri orang Belanda alias guling.
(tirto.id - Humaniora)
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani