Perkara “kapan nikah?” sepertinya jadi topik yang tak ada habisnya jika dibicarakan. Khususnya buat kamu yang sudah masuk usia 20-an ke atas. Rasa-rasanya, semesta seperti bersekongkol hingga membuatmu merasa berdosa kalau-kalau sudah umurnya tapi belum menikah juga.
Padahal, kita perlu kembali merefleksi dan bertanya pada diri sendiri. Apa iya kita harus nikah kalau cuma alasan sudah umurnya? Bukankah sebenarnya banyak hal-hal penting yang harus dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak? Yang pasti, nikah itu bukan wajib belajar, jadi menikahlah tanpa merasa dikejar-kejar oleh usia…
Padahal, kita perlu kembali merefleksi dan bertanya pada diri sendiri. Apa iya kita harus nikah kalau cuma alasan sudah umurnya? Bukankah sebenarnya banyak hal-hal penting yang harus dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak? Yang pasti, nikah itu bukan wajib belajar, jadi menikahlah tanpa merasa dikejar-kejar oleh usia…
“Eh Ndin, kemaren gue ketemu lagi sama Nina”
“Nina yang mantan lu pas SMA itu?”
“Iya. Dia juga masih sendiri, dan merasa perlu menikah.”
“(((Perlu menikah))) Lalu maksudmu?”
“Aku juga bilang aku cari istri, dia cari suami, pas kan? Dia juga mau kok. Bulan depan aku lamar ke rumahnya.”
Menikah emang kebutuhan, katakanlah untuk mendapat keturunan. Tapi tolong jangan lakukan itu hanya karena paksaan.
Dari ilustrasi di atas, boleh jadi kita beranggapan mereka sengaja dipertemukan karena memang jodoh. Tapi dari sudut pandang lain, kebetulan keduanya sama-sama sendiri, sama-sama terusik dengan omongan orang di sekitar, dan akhirnya memutuskan bersama karena depresi.Dua minggu pasca lamaran
“Ndin, si Nina nggak berubah tau nggak sih kelakuan buruknya sejak jaman SMA dulu.”
“Hah? Lha lu main lamar aja. Keburu sih, nikah kok kaya dikejar anjing. Terus, nyesel?”
“Ya gimana, takut abis ini malah nggak nemu perempuan lagi.”
“Astaga.”
Konsensus. Ya, begitulah yang terjadi pada masyarakat kita, Indonesia. Dengan sengaja membicarakan apapun tentang orang lain di belakang. Termasuk ketika-menurut-masyarakat, usianya sudah masuk usia menikah, namun belum juga ada tanda-tanda menuju kesana. Jangankan tanda-tanda, pasangan aja ndak punya.
Peduli amat sama orang lain. Iya sih kita hidup bermasyarakat, tapi dengan atau tanpa menikah, hidup kita masih terus berjalan kok!
“Eh, lu tau si Winda anak keduanya pak RT itu nggak?”Ya begitu. Namanya ibu-ibu rumpik, kurang kerjaan buk? Menikah bahkan di kitab manapun itu jadi sunnah, bukan kewajiban. Jadi, dengan atau tanpa pernikahan kehidupan juga masih akan tetap berjalan. Bukan, bukan mengajari untuk tak peduli lagi pada ikatan sakral bernama pernikahan. Tapi kan jauh lebih kasian, kalau ikatan itu dilangsungkan terus-terusan tanpa ada cinta yang mendasar? Lebih baik jangan…
“Oiya, tahulah. Umurnya tahun ini sudah masuk kepala 3 kan. Kok dia nggak pernah kelihatan jalan sama cowo sih?”
“Iya ya ampun, cantik padahal. Kasian kalo sampe jadi perawan tua.”
Karena menikah itu bukan wajib belajar, jadi jangan lantas kamu merasa terkejar hingga siapa pun yang datang langsung disambar.
Persis seperti ilustrasi pembuka tadi. Tentang ketakutan nantinya tak kan dipertemukan dengan lawan jenis lagi. Akhirnya, pasca dilangsungkannya lamaran atau pernikahan, malah mengeluh kalau kriteria pasangan tak seperti yang diharapkan. Bukan, bukan ngajarin atau nganjurin pacaran juga. Tapi tahapan saling mengenal sebelum menikah itu juga penting, biar nggak ngerasa kaget, apalagi sampai menyesal.Ada yang bilang, usia 19-21 itu tahapan seseorang memiliki pertanyaan “Gue siapa?”. Selanjutnya di usia 22-24, ketika dia bertanya “Lu siapa?” kepada pasangan atau lawan jenisnya, tahap penjajakan. Nah, setelahnya nih yang rawan bahaya. Katakanlah usia 25-30 atau bahkan lebih, dia bakal bilang “Yuk ah, siapa aja.” Ahhhh…artinya siapapun cewe atau cowo, dengan kata lain lawan jenisnya yang juga tertekan karena omongan orang sekitar untuk menikah karena usia, akan merasa “saling melengkapi” dengan melangsungkan pernikahan. Alangkah sayangnya jika itu terlaksana tanpa dilandasi adanya perasaan.
Menikah itu tentang siap dan mantap, jangan sampai kamu menjalani rumah tangga dengan gagap.
Sebelum menikah, berilah pertanyaan ini kepada dirimu sendiri: Apakah kamu sudah mempersiapkan sebuah momentum sebesar ini ? Apakah kamu sudah membekali diri dengan berbagai ilmu untuk menyongsong sebuah prosesi teramat sakral ini? Jika jawabnya belum, tundalah sekiranya kamu sudah mantap.Menikah itu bukan tentang siapa yang lebih cepat. Tapi yakinlah, Tuhan sudah pilihkan waktu dan seseorang yang paling tepat. Jangan tergesa lantaran telingamu sudah panas membara, akibat omongan dari para tetangga. Pantaskan dirimu dulu, bukan saja untuk jodohmu kelak, tapi fokuslah memperbaiki diri di hadapanNya.
Jangan gegabah dan beralasan untuk ibadah. Percuma tampan, punya jabatan, dan mapan. Apa artinya kalau kamu nggak nyaman?
“Lu ngapain sih Bi mau nikah cepet? Masih umur 28 ini, cowo pula.”Ibadah sih ibadah, sekaligus menghindarkan kamu dari yang namanya zinaaah. Tapi itu bukan satu-satunya alasan juga buat kamu buru-buru, hingga lupa mempertimbangkan semua hal matang-matang. Janganlah Bang kamu jadikan anjuran agama sebagai alasan untuk buru-buru menikah. Apalagi kalau sejatinya kamu nge-dumel di belakang soal keburukan-keburukan perempuan yang kamu anggap jodohmu itu. Kamu nggak ingin ketergesaan membuatmu salah memutuskan pilihan kan? Persiapan menikah itu bukan hanya persoalan mendaftar di KUA saja!
“Orang tua gue Ndin. Terus kemarin gue ikut pengajian juga, ngerasa kesindir gitu sama omongan ustadznya. Katanya, apalagi yang ditunggu, usia sudah waktunya, jabatan ada, udah mapan pula.”
“Tapi lu ngeluh soal kelakuan buruk calon istri gitu? Aneh!”
“Ya nggak papa, nanti mungkin akan kebiasa. Niatnya kan ibadah bro…”
Percayalah, perkara menunda pernikahan itu bukan berarti kamu “di situ-situ saja”…
Keinginan untuk berumah tangga itu pasti selalu ada, tapi alasan ini juga nggak bisa kamu gunakan untuk buru-buru cari pasangan lalu nikah. Camkan dibenakmu, nikah itu bukan ikut-ikutan. Nikah itu tentang persiapan. Termasuk siap-siap memilah para calon jodoh.Jadinya, jangan maksa kalau ternyata pasangan yang kamu anggap jodoh ternyata tidak memiliki klik di perasaan. Tundalah dulu. Pasanganmu sekarang tak selalu jodohmu kelak. Rasakan baik-baik apa “klik” itu benar-benar sudah ada dalam hubungan kalian. Menunda untuk menikah bukan berarti kamu stuck “di situ-situ saja,” kamu cuma nggak ingin kemapanan pun jadi alasan untuk tergesah-gesa.
Jodoh itu perkara waktu kawan, tak usahlah merasa terburu-buru. Tentang siapa yang lebih dulu, misalkan itu adikmu, bukan berarti menjadi masalah besar kan? Hingga kemudian kamupun sembarangan memilih pasangan. Memang tak mudah, mulailah berbenah, dan perbanyak sedekah.
“Menikah itu mudah kok.”
“Iya, menurut lu. Yang susah itu cari JODOHnyaaaaaaa…”
Teks Postingan 3